Judul : Negeri 5 Menara
Penulis : Ahmad Fuadi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 978-979-2 2-4861-6
Tahun Terbit : 2009
Tebal: 423 halaman
Peresensi : Sri Purwanti (Ummu Roya)
Buku ini merupakan kisah inspiratif dengan tokoh bernama Alif yang tinggal di daerah terpencil di Pulau Sumatera, tepatnya di Desa Maninajau, Minangkabau, Sumatera Barat.
Setelah lulus SMP dia ingin melanjutkan sekolah ke SMA Bukittinggi. Karena Alif tak ingin dirinya terus tinggal di kampung halaman. Ia ingin merantau ke kota untuk menggapai cita-citanya.
Akan tetapi, ayah dan ibunya ternyata menentang, akhirnya Alif harus berbesar hati dan menerima keputusan kedua orang tua. Ia pun disekolahkan di Pondok Madani setelah mendapatkan rekomendasi dan dorongan dari salah satu pamannya yang tinggal di Mesir.
Hari pertamanya di pondok Alif terkesima dengan kata ajaib berbahasa arab ”man jadda wa jadda,” barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Kata yang memotivasi dirinya untuk berani memiliki mimpi.
Di Pondok Amani, Alif sempat mengalami culture shock. Karena ternyata ada kewajiban untuk berbicara dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris setiap hari serta harus menyiapkan diri untuk menghadapi padatnya jadwal harian. Sesuatu yang bertolak belakang dengan kebiasaan selama di kampung halaman.
Suatu hari, Alif melakukan kesalahan sehingga harus menjalani hukuman. Ternyata, Alif bukan satu-satunya santri yang dihukum. Karena Baso, Raja, Dulmajid, Atang, dan Said juga harus menjalani hal serupa.
Sejak saat itu, mereka menjadi sahabat karib yang tidak terpisahkan dan menamakan diri Sahibul Menara. Keenamnya melakukan berbagai aktivitas bersama dan mempunyai mimpi yang sama, yakni berkunjung ke Trafalgar Square di Eropa.
Setiap sore menjelang azan maghrib, Alif bersama lima temannya memiliki kebiasaan unik. Mereka berkumpul di bawah menara masjid sambil memandang ke awan. Dengan memandangi alam itulah mereka menggambarkan impiannya.
Seperti Alif mengakui jika awan itu bentuknya seperti benua Amerika, yaitu negara yang ingin ia kunjungi kelak setelah lulus. Begitu juga dengan yang lainnya, menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir, dan Benua Eropa.
Setelah melalui lika-liku di pesantren, untuk belajar berbagai macam ilmu bukan hanya Al-Quran dan kitab, tapi juga belajar bahasa Arab dan bahasa Inggris, kesenian, pramuka, dan ilmu pengetahuan lainnya, akhirnya mereka lulus dan harus berpisah.
Namun ternyata ikatan persahabatan tidak terputus. Setelah lulus keenam sahabat itu dipertemukan lagi di London. Mereka bernostalgia dan telah membuktikan impian dan cita-cita yang dulu dilukis saat berdiri di bawah masjid menara.
Alif bersekolah dan bekerja di Amerika, Atang sudah delapan tahun menuntut ilmu di Kairo, Baso kuliah di Arab Saudi, ia mendapat beasiswa penuh, Raja di London, Said dan Dulmajid bekerjasama mendirikan sebuah pondok di Surabaya.
Novel ini cocok dibaca oleh semua kalangan baik dari kalangan anak kecil maupun orang dewasa. Karena isinya menggambarkan sebuah persahabatan yang tulus di antara para tokoh sehingga dapat dijadikan contoh yang baik bagi para pembaca.
Novel ini juga sangat inspiratif karena dapat mendongkrak semangat anak muda untuk menggapai cita-cita, tidak takut bermimpi karena yakin bahwa Allah telah memberikan kesuksesan untuk hambanya yang mau berusaha. (man adda wajadda).
Novel ini juga mampu mengubah tentang pola pikir masyarakat yang konservatif terhadap pesantren. Mereka menilai bahwa di pesantren hanya mempelajari ilmu agama saja, namun faktanya juga mempelajari bahasa Arab, bahasa Inggris, kesenian dan ilmu pengetahuan lainnya.
Terlepas dari beberapa kelebihan yang dimiliki, namun ibarat gading yang tak retak, buku ini juga memiliki beberapa kekurangan. Contohnya ada beberapa kata dalam bahasa Arab yang tidak diterjemahkan sehingga orang awam akan sedikit kesulitan untuk memahami maksudnya.
Alur cerita juga cukup standar tidak memberikan penjelasan lebih mendalam mengenai bagaimana tokoh-tokohnya mencapai kesuksesan. Karena perjalanan Alif dan teman-temannya dari santri hingga sukses terasa seperti melompat begitu saja tanpa detail perjuangan yang lebih nyata (seperti ada bagian yang hilang).
Namun terlepas dari beberapa kekurangan dan kelebihannya, buku ini tetap bisa dijadikan salah satu pilihan untuk melengkapi koleksi di perpustakaan pribadi.
2 Komentar
Masha Allah, suka baca novelnya Um
BalasHapusMasyaallah
BalasHapus